Jumat, 04 Januari 2013

KISAH CINTA SANG MUSAFIR CINTA

DIA SEBUT DIRINYA MUSAFIR CINTA 


beberapa tahun lalu akubertemu dengan seorang gadis. dia merupakan gadis sederhana,, aktifitasnya pun teramat sederhana jika dibanding wanita-wanita lain. sedikit aneh, tapi menarik buatku. akhirnya aku pun menelusuri kisah hidupnya.. hingga tanpa sadar aku larut dalam kisahnya... bagaimana tidak?? kisahnya mengguncang batin dan hatik.

waktu itu usianya sekitar 21 tahun, namun... wajahnya nampak lebih dewasa beberapa tahun. berkacamata, berkulit agak gelap, berjerawat, berkerudung besar, berpakaian tertutup rapi... dan pandangannya selalu tertunduk. TRUS APANYA YG MENARIK?? bahkan teman-temanku waktu itu semua segan tuk berkomunikasi dengannya. yg laki-laki ataupun perempuan.

ternyata dibalik kekurangan fisiknya, aku menemukan sesuatu yg berbeda yg tidak ku temukan pada wanita lain.

aku menemukan keimanan yg begitu tebal dihatinya, ketabahan yg teramat kuat, dan kepasrahan yg begitu tulus... singkat cerita, AKU JATUH CINTA KEPADANYA,, murni cinta karena Allah...

waktu terus berjalan,, kamipun asyik menikmati kedekatan kami yg kami arahkan kepada pendekatan diri kepada Allah,, semua terasa begitu manis walau waktu itu kami bersama selama 2 minggu saja. itupun seminggu sebelumnya belum ada komunikasi di antara kami. dia hanya memperhatikanku secara diam-diam,, dan aku tidak menyadari keberadaannya. jujur karena memang dari segi fisik,, disekeliling waktu itu banyak yg bisa dikatakan begitu menggoda. pandanganku tersamarkan.

setelah kenal dia,, pandanganku benar benar teralihkan padanya. siang, malam slalu ingat dia, aku jaga komunikas dengannya, dan berusaha tuk slalu saling mengingatkan. walaupun banyakan dia yg ngingetin. aku slalu ingat kata-katanya. dia biasa memanggilku "pak" atau "paket (akronim pak ketua)"

"pak, jgn smsan aja! shalat dulu sana..."
maka dengan terperanjat akupun langsung pergi shalat
"ia de"
dia pun sering mengingatkan
"pak, udah malm, jangan ngobrol aja! cpat tidur dan nanti bangun jam 3 ya!"
"tolong bangunin ama dede ya! lewat sms atau miscall aja"
insyaallah pak, tapi jangan dede aja dong yang bangunin, coba bapak yg bangunin dede"
mendengar jawaban itu akupun tersentak lagi. "benar juga y"

waktu itu kami tergolong dekat, sehingga muncul gosip-gosip tentang kami, tapi semua cenderung mendukung. karena kami sama-sama punya kelainan. akupun akhirnya mengutarakan perasaanku padanya. dan jawaban yg kudapat sungguh diluar dugaan.

"pak, dede juga bukan tidak punya rasa cinta. dede juga pengen bisa sperti yg lain, tapi dede takut... takut cinta kpada mahluk memalingkan dede dari cinta kepada Allah"
seketika itu hatiku bergetar. apa benar masih ada wanita seperti ini?? akupun makin penasaran. sebab aku merasakan sesuatu yg aneh.

berbekal rasa cinta yg mulai tumbuh, sehingga aku terus menggali informasi tentang dia. alangkah kagetnya karena ternyata begitu banyak hal-hal yg tidak diketahui darinya. JELASNYA, DIA MENGIDAP LEUKIMIA STADIUM 4. penyakit itu telah menggerogoti tubuhnya. matanya sudah -7 hingga harus berkacamata, dari hidungnya selalu keluar darah bahkan sering juga pingsan. fisiknya begitu lemah.

Selasa, 01 Januari 2013

KISAH ABU NAWAS, AHLI YOGA, DAN PENDETA



Mempermainkan Abu Nawas Sama Dengan Menyusahkan Diri Sendiri

Alkisah, ada seorang Ahli Yoga yang sangat membenci Abu Nawas, maka dengan segala cara dia memperdaya Abu Nawas ini hingga akhirnya mempunyai ide untuk mengajak seorang pendeta untuk bersekongkol. Setelah mencapai kata sepakat antara Pendeta dan Ahli Yoga, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.
Ketika mereka datang, Abu Nawas sedang melakukan salat Dhuha. Setelah dipersilakan masuk oleh istrinya, mereka pun masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang dengan santainya.
Seusai salat, Abu Nawas menemui mereka dan bercakap-cakap sejenak.“Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan, bergabunglah bersama kami,” kata Ahli Yoga.
“Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?”tanya Abu Nawas dengan polos.
“Besok pagi,” kata Pendeta.
“Baiklah kalau begitu, kita bertemu di warung teh besok pagi,” kata Abu Nawas menyanggupi.
Agama Islam sangat menghormati pemeluk agama lain, karena Rasululullah SAW mengajarkan demikian. Pada hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi.
Ahli Yoga dan Pendeta mengenakan seragam keagamaan mereka masing-masing. Di tengah jalan, mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal. “Hai Abu Nawas, bagaimanakah kalau engkau saja yang mengumpulkan derma untuk membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian,” kata Pendeta.
Tanpa banyak bicara lagi, Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari satu dusun ke dusun lainnya. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan secukupnya untuk mereka bertiga. Setelah itu Abu Nawas kembali lagi ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar, Abu Nawas berkata, “Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga.”
“Jangan sekarang, kami sedang berpuasa,” kata Ahli Yoga.
“Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja, sedangkan kalian ya terserah pada kalian,” kata Abu Nawas.
“Aku tidak setuju, kita harus seirama dalam berbuat apapun,” kata pendeta.
“Betul, aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka,” kata Ahli Yoga.
“Hai, bukankah aku yang kalian jadikan alat pencari derma, dan derma itu sekarang telah aku tukarkan dengan makanan. Sekarang kalian malah tidak mengijinkan aku untuk mengambil bagianku sendiri, itu tidak masuk akal,” kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.
Namun begitu pendeta dan ahli yoga tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas untuk mengambil bagian yang sudah menjadi haknya. Abu Nawas penasaran, ia mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagiannya. Tetapi mereka tetap saja menolak.
Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikitpun kejengkelan dan kemarahannya itu. “Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian,” kata pendeta kepada Abu Nawas.
“Perjanjian apa?” tanya AbuNawas.
“Kita adakan lomba, barang siapa diantara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak, yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit,” kata pendeta mejelaskan.
Abu Nawas setuju. Ia tidak memberi komentar apa-apa. Malam semakin larut, embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur karena perutnya lapar. Dia hanya pura-pura saja tidur untuk mengelabui kawannya.
Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah tertidur lelap, Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa pikir dua kali, Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah kenyang, barulah Abu Nawas bisa tidur.
Keesokan harinya, mereka bangun hampir bersamaan. Ahli yoga dengan wajah yang berseri-seri bercerita,
“Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini.”
Pendeta mengatakan bahwa mimpi ahli yoga benar-benar menakjubkan, benar-benar luar biasa. Kini giliran pendeta yang bercerita. “Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam di mana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya.”
Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi pendeta. Abu Nawas hanya diam. Ia bahkan tidak tertarik sedikitpun. Karena Abu Nawas belum buka mulut juga, Pendeta dan Ahli Yoga mulai menanyakan mimpi Abu Nawas. Akhirnya Abu Nawas mulai bercerita setelah didesak oleh kawan-kawannya.
“Kalian tentu tahu Nabi Daud as kan, Beliau adalah seorang Nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau dan beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari, kemudian beliau menyuruhku agar segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu,” kata Abu Nawas tanpa punya perasaan salah sedikitpun.
Sambil menahan rasa lapar yang sangat, Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas terobati sudah. Kini mereka berdua sadar bahwa mempermainkan Abu Nawas sama halnya dengan menyusahkan diri sendiri.

JAWABAN SEORANG ANAK KECIL KEPADA IBU GURU YANG MELARANG MEMAKAI JILBAB



JAWABAN SEORANG ANAK KECIL KEPADA IBU GURU YANG MELARANG MEMAKAI JILBAB

Seorang gadis kecil pulang dari sekolah. Setibanya di rumah, ibunya melihat anak putrinya dirundung kesedihan. Maka ia pun bertanya kepada putrinya itu tentang sebab kesedihannya. Anak: “Aduhai ibuku, sesungguhnya ibu guru telah mengancam akan mengusirku dari sekolah karena pakaian panjang yang kupakai.”

Ibu: “Tetapi itu adalah pakaian yang dikehendaki oleh Allah, wahai putriku.”

Anak: “Benar, wahai ibu, akan tetapi ibu guru tidak menghendakinya.”
Ibu: “Baiklah, wahai putriku, guru itu tidak menghendaki, tetapi Allah meng¬hendakinya. Lalu siapakah yang akan kamu taati? Apakah kamu akan mentaati Allah yang telah menciptakanmu dan membentukmu, serta yang telah mengaruniakan kenikmatan kepadamu? Ataukah kamu akan mentaati seorang makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat dan madharat kepada dirinya?”

Anak: “Sesungguhnya saya akan taat kepada Allah.”

Ibu: “Bagus, wahai putriku, kamu tepat sekali.”
Pada hari berikutnya, gadis kecil itu pergi dengan mengenakan baju yang panjang. Tatkala ibu guru melihatnya, ia langsung mencela dan memarahinya dengan keras. Gadis kecil itu tidak mampu memikul amarah tersebut, ditambah lagi oleh pandangan teman-teman perempuannya yang mengarah kepadanya.
Tidak ada yang ia lakukan selain berteriak menangis. Kemudian, gadis kecil itu mengeluarkan kata-kata yang besar maknanya meski sedikit jumlahnya, “Demi Allah, saya tidak tahu siapa yang akan saya taati, anda ataukah Dia?”
Ibu guru itu pun bertanya, “Siapakah Dia itu?”

Anak itu menjawab, “Allah. Apakah saya harus taat kepada anda, sehingga saya mesti memakai pakaian seperti yang engkau kehendaki, tetapi saya berbuat maksiat kepada-Nya. Ataukah saya mentaati-Nya dan tidak mentaati engkau? Ah, biarlah saya akan mentaati-Nya saja, dan apa yang terjadi terjadilah.”
Aduhai, betapa agungnya kalimat yang keluar dari mulut si kecil itu. Sebuah kalimat yang menampakkan wald (ketaatan) yang mutlak kepada Allah. Gadis kecil itu bertekad untuk berpegang kuat dan taat ke¬pada perintah Dzat Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa Akan tetapi.apakah bu guru itu hanya berdiam saja darinya?
Ibu guru itu meminta dipanggilkan ibu si anak kecil tersebut. Apa yang ia inginkan darinya?

Maka datanglah si ibu itu..
Ibu guru berkata kepada ibu anak kecil itu, “Sesungguhnya putri anda telah menasihatiku dengan nasihat paling besar yang pernah aku dengar di sepanjang hidupku.”
Benar, ibu guru telah mengambil pelajaran dan nasihat dari murid kecilnya. Ibu guru yang mengajarkan pendidikan dan telah mengambil bagian yang besar dari ilmu.
Seorang guru yang ilmunya tidak dapat menghalanginya untuk mengambil nasihat dari seorang gadis kecil yang mungkin seusia dengan putrinya.

Salam penghormatan, semoga terlimpahkan kepada guru ini. Salam peng¬hormatan juga untuk gadis kecil yang telah memberikan pendidikan Islamiyah dan telah berpegang kepadanya.
Salam penghormatan untuk sang ibu yang telah menanamkan dalam diri putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Seorang ibu yang yang telah mengajarkan kepada putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Wahai ibu-ibu muslimah, di depan anda lah anak-anak anda. Mereka seperti adonan tepung. Anda bisa membentuknya sebagai-mana yang anda kehendaki, maka bersegera-lah untuk membentuk mereka dengan bentuk yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ajarkanlah shalat kepada mereka

KISAH SEORANG YAHUDI YANG MENGISLAMKAN JUTAAN ORANG



KISAH SEORANG YAHUDI YANG MENGISLAMKAN JUTAAN ORANG (JADDULLAH AL QURANI)

INI KISAH YG MEMBUAT SY MENANGIS SAAT MEMBACANYA

Di suatu tempat di Perancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim, ia adalah orang tua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen dimana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama “Jad” berumur 7 tahun.
Jad si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat dimana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah, setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.


Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.
Ibrahim pun menjawab: “Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu!” Jad pun menyetujuinya dengan penuh kegirangan.
Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi.
Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.
Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.
14 tahun berlalu, kini Jad telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.
Ibrahim pun akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya dimana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.
Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak, Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya,  dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.
Hari-haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya.
Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.
Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.
Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, “Buku apa ini !?”
Ia menjawab : “Ini adalah Al-Qur’an, kitab sucinya orang Islam!”
Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,
Jad lalu kembali bertanya: “Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?”
Temannya menjawab : “Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!”
Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!
Jadullah seorang Muslim.
Kini Jad sudah menjadi seorang muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur’ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur’an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur’an.
Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur’an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.
Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!…” (QS. An-Nahl; 125)
Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.
Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang diantaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zolo, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.
Akhir Hayat Jadullah
Jadullah Al-Qur’ani, seorang muslim sejati, da’i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.
Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.
Kisah pun belum selesai
Ibu Jadullah Al-Qur’ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.
Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.
Kemudian yang menjadi pertanyaan: “Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?”
Jadullah Al-Qur’ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: “Hai orang kafir!” atau “Hai Yahudi!” bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: “Masuklah agama islam!”
Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.
Kemudian dari kesaksian DR. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani.
Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur’ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.
Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur’ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai “Syaikh Kaum Revolusioner Mesir”. Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.
Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur’ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid’ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.
Dulu da’i-da’i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.
Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun –‘alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir’aun. Allah berfirman,
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Bayangkan, fir’aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut. Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari fir’aun sehingga Al-Qur’an pun merekam kekafirannya hingga kini? Lantas alasan apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur’an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun?
Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini. Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam. Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Na’udzubillah tsumma Na’udzubillahi min Dzalik.
Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam –’alaihissalam–. Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah!
Marilah kita pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun “menggerogoti” akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara yang baik-baik saja.
Wallahu Ta’ala A’la Wa A’lam Bis-Shawab. 
Penulis: Mustamid, seorang mahasiswa Program Licence Universitas Al-Azhar Kairo Konsentrasi Hukum Islam.

KISAH MUTTHARIF BIN ABDULLAH



Kisah Tabi’in Muttharrif bin Abdullah
Dia dilahirkan dimasa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tapi tak sempat bersua dengan beliau
Dia mendapatkan ilmu, mengambil hikmah, sehingga menjadi seorang imam bagi kaum muslimin dan alim bagi agamanya.
Al-‘Ajali berkata,”Dia adalah seorang tsiqah dari kalangan tabi’in. Seorang laki-laki shalih.”Menurut Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqatnya,”Dia dilahirkan dimasa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, seorang ahli ibadah dari bashrah yang zuhud.”
Dialah Muttharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir.
Saudaranya Yazid bin Abdullah, dia berkata,”Muttharrif lebih tua dariku sepuluh tahun. Saya lebih tua dari al-Hasan Bashri sepuluh tahun.”
Adz-Dzahabi menambahkan,”Muttharrif dilahirkan pada tahun terjadinya perang badar atau perang uhud. Mungkin ia sempat bertemu dengan Umar bin Khathab dan Ubay bin Ka’ab.”
Muttharrif menghabiskan hari-harinya dengan adab yang baik. Tak pernah terlewatkan kecuali dia mengevaluasinya.
Dia menyembah Tuhannya berlandaskan ilmu dan fiqih, dia tidak melampau batas dan juga mempersulitnya. Renungkan kalimat-kalimatnya untuk mengetahui keutamaannya. Dia berkata,”Malamnya tidur dan paginya menyesal, lebih saya sukai daripada malamnya tidak tidur dan siangnya kaget.”
Dari kalimat ini, terlihatlah kedalaman fiqihnya. Untuk mengetahui tentang muhasabah terhadap dirinya, singkap ungkapannya,”sesungguhnya untuk menjumpai malam dan menjauhkan tempat tidur , aku mentadabburi al-Qur’an. Aku membandingkan amalku dengan amalan penghuni syurga. Maka, sungguh amalan mereka luar biasa. Allah SWT berfirman,” Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.(QS.ad-Dzariyat:17)
          Sungguh aku tak melihat diriku sebagai bagian dari mereka!
          Maka, aku memalingkan diriku pada ayat,” “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”(QS.al-Muddatstsir:42)
          Dan kuperintahkan dengan ayat,” Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.”(QS.at-Taubah:102)
Allah memberikan kemuliaan kepada Muttahrrif yang tidak Dia berikan kecuali pada para waliNya yang beribadah dengan ikhlas dan berpegang pada jalan yang lurus. Allah memberikan kemuliaan beragam Karamah yang membedakannya dengan orang biasa.
Ketika memasuki rumahnya, seisi rumahnya ikut bertasbih. Suatu ketika, ia bersama seorang temannya berjalan dikegelapan malam. Maka, diujung cambuk mereka tampak cahaya! Temannya berkata,”seandainya hal ini kita bicarakan pada orang-orang, pasti mereka akan mengingkarinya.” Muttharrif menjawab, “para pendusta banyak berbohong!”. Maksudnya, orang yang mengingkari nikmat Allah adalah pembohong.
Muttahrrif adalah ahli hikmah. Kata-katanya mengandung pengertian yang mendalam. Ia berkata,”seandainya aku bisa mengeluarkan hatiku dan meletakkan di tangan kiriku, lalu didatangkanlah kebaikan dan diletakkanlah ditangan kananku. Sungguh, aku tak akan bisa mengobati hatiku hingga Allah meletakkannya.”
Ia juga mengatakan,”seandainya seseorang melihat buruan, dan buruan tidak melihatnya. Lalu pemburu itu membidiknya. Bukankah dikhawatirkan ia akan mampu mengambilnya?
          Dikatakan, “Ya.”
          “Begitulah syetan. Ia melihat kita dan kita tidak melihatnya. Maka, bisa jadi kita kena (terperdaya).”
Dia juga berkata,”Sungguh maut ini, telah merusak kenikmatannya di tangan ahli nikmat. Maka mintalah kenikmatan yang tidak pernah mati. Maka adakah kenikmatan yang tidak pernah mati?Itulah kenikmatan penghuni syurga yang kekal.”
Beginilah Muttharrif menghabiskan masa hidupnya. Ia tidak ikut melakukkan apa yang orang-orang lakukan. Ia menghabiskan malam dan siang harinya dengan muhasabah dirinya. Karenanya, tak heran kalau doanya selalu dikabulkan.
Suatu ketika Hajaj bin Yusuf memenjarakan Mauruq al-‘Ajali. Muttharrif berkata pada para sahabatnya,”Mari kita berdoa. Aminkanlah.” Lalu ia berdoa dan teman-temannya mengaminkan. Ketika waktu Isya tiba, Hajjaj keluar dan memerintahkan untuk membebaskan Mauruq.
Demikianlah kemuliaan Muttharrif. Pada tahun 81H, ia meninggalkan dunia yang fana ini untuk menemui TuhanNya. Dunia yang memang selama ini ia tinggalkan. Ia tinggalkan dengan hatinya. Tapi kali ini tidak. Ia tinggalkan dunia dengan hati dan jasadnya. Diantara wasiatnya pada adiknya adalah agar jangan seorang pun mengadzankan jenazahnya.
Semoga Allah meridhoi Muttharrif dan menempatkannya bersama orang shalih